Laman

Sabtu, 10 Desember 2011

MOHONLAH PERTOLONGAN HANYA PADA ALLAH

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al-Anfaal (8): 9)

Untuk mendapat pertolongan Allah dengan serta merta dengan menurunkan Malaikat Malaikat atau Jundullah harus memenuhi beberapa syarat, Dr. Yusuf Qaradhawi mensarikan cara memperoleh pertolongan Allah pada saat kita membutuhkan dalam beberapa butir berikut:

Pertolongan Allah hanya diberikan kepada pelaku yang benar-benar turun di lapangan untuk berjuang. (QS. Al-Anfaal (8): 9)
Pertolongan Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang menolong agamaNya. (QS. Muhammad (47): 7)
Hamba yang ikhlas dan memurnikan ibadah kepadaNya. (QS 10:22)
Hamba yang mensucikan diri dari mengkonsumsi segala hal yang diharamkanNya. (Hadits)
Hamba yang menderita. (QS. Al-Anbiyaa’ (21): 87-88)
Hamba yang terus berdo’a karena tidak tahu kapan do’anya akan dikabulkan – tidak tergesa-gesa. (Hadits).

Kita tidak akan mencapai Quantum Hikmah apabila Syarat ini “Hamba yang ikhlas dan memurnikan ibadah kepadaNya” belum di applikasikan secara sepenuhnya dalam ibadah kita…

Kalau Niat dan Aqidah masih belum jujur ber-Tauhid Uluhiyyah, jangan kaget kalau yang datang selalunya Khodam dari kalangan jin….., apapun status manusianya…walaupun tingkatan Ulama, kyai, ustaz, mursyid dan lain lain…, yang di lihat kan bukan statusnya akan tetapi itiqad di hatinya…

Maka jangan berbangga mempunyai khodam pendamping, pada hakikatnya yang menjadi khodam adalah manusia itu sendiri dan si jin yang menjadi tuan, dan manusia ini menjadi sapi perahan, yang menjadi sakti adalah si jin bukan manusia pengamal-nya

Bagaimana cara membedakan apakah itu kita didampingi khodam jin. Adakah kaedah yang bisa digunakan untuk mengetahuinya ?

Kalau kita mempunyai pendamping Jin , baik itu Jin muslim atau Jin kafir (yang membedakan pengaruhnya adalah intensitasnya) , yang paling berasa adalah emosi yang tidak stabil (mudah tersinggung, cepat naik darah) dan apabila sudah beberapa lama biasanya keadaan ekonomi terpengaruh (pokoknya selalu ada ada saja masalah berhubung dengan keuangan, dapet duit tapi habisnya juga cepat dll) dan setelah itu biasanya akan terpengaruh kondisi kesehatan (sering pusing, sakit pundak, sakit pinggang, badan terasa berat), kondisi semua ini berterusan bukan sementara…..

Menurut saya karena energi bangsa Jin adalah panas , jadi sejalan dengan waktu energi manusia yang di dampinginya terpengaruh …sehingga ada pengaruh2 negatif seperti di atas…

Yang anehnya, Wallahu ‘Alam bi shawab , saya banyak melihat Jin muslim dengan Jin kafir bisa hidup berdampingan dalam satu badan manusia….

Apa yg harus dilakukan agar barakah wirid kita tidak dapat diserap oleh mereka ?

Luruskan Niat dan Itiqad ..!, berzikir untuk beribadah secara jujur untuk Allah karena Allah dan demi Allah hanya mengharapkan limpahan rahmat dan menggapai keridhoan Allah, sebagai bentuk ketaqwaan total kepadanya sebagai bentuk aplikasi dari Tauhid Ibadah-Uluhiyyah.

Insha Allah dengan rahmat Allah kita akan di lindungi oleh Allah dari segala sesuatu yang tidak di rahmatiNya dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak Haq.

Sebelum dan sewaktu berzikir jagalah niat dan itiqad bahwa zikir ini adalah sebagai ibadah karena Allah BUKAN berzikir karena SESUATU, Karena suatu faedah atau khasiat, seperti takut masuk neraka dan ingin masuk surga atau karena menginginkan hajat-hajat tertentu, seperti kesaktian, karomah dan lain lain , kalau masih mengharapkan upah dari ibadahnya ini namanya belum lagi bertauhid secara jujur seperti Ibadah seorang pedagang.

Apabila dzikir tadi telah selesai, disini WAKTUNYA berdo’a , silahkan berdo’a seluruh hajat2 anda, Karena Allah memang menyuruh kita berdoa kepadaNya, ini sebagai tanda penghambaan kita pada Allah.
Ada saatnya untuk berzikir ikhlas karena Allah DAN ada saatnya untuk berdoa kepada Allah, jangan dicampur-campur, itu sama saja merebut HAQ-nya Allah, karena dalm beribadah itu ada adab-adabnya yang perlu di ikuti.

Tentunya kita familiar dengan ucapan ” Dawamkan atau amalkan hizib, asma atau Ayat ini dan itu sekian kali selama beberapa hari, Insya Allah berkhasiat ini dan itu”
Apa yang biasanya terjadi, si pengamal mempunyai niat dan itiqad dengan harapan dapat khasiat ini dan itu….., Sebelum dan sewaktu si pengamal mengamalkan hizib, asma atau ayat-ayat tsb.

Pengamal ilmu hikmah dengan cara ini memang akan mendapat apa yang dia hajatkan dengan Izin Allah akan tetapi belum tentu di rahmatiNya, segala sesuatu yang tidak di Rahmati oleh Allah adalah hal yang sia-sia.

Pendapat saya peribadi, hal ini lah yang tanpa di sadari, malah semakin menjauhkan kita kepada HAKEKAT Tauhid Ibadah yang sebenarnya.

Memang susah merubah pola-pikir dan keyakinan kita, saya sendiri pun masih dalam tahap belajar tata-cara beribadah secara ikhlas karena Allah tanpa embel2 tertentu , ya selama puluhan tahun selalunya berzikir karena sesuatu maksud ..tidak ikhlas dalam arti sesungguhnya.

Jangan pernah terpikir bahwa “Pahala” dari amal ibadah kita bisa “Cukup” atau “lebih” sehingga menjamin masuk ke sorga-Nya Allah, walaupun kita beribadah sehari semalam seumur hidup kita MASIH sangat kecil untuk bisa di terima di Surga-nya Alllah, Hanya dengan RahmatNya lah kita di perkenankan Masuk ke Surga-Nya Allah. Rasulullah pun tidak bisa memberikan Syafaat tanpa RahmatNya Allah.

Ada beberapa kumpulan yang sangat anti dengan pengamalan hizib-hizib auliyya, amalan2 dari ayat-ayat alquran dengan tatacara tertentu dan sejenisnya (tidak termasuk asma-asma karangan masa kini ya…), sampai ada yang buat buku yang pada umumnya menyatakan bahwa hizib-hizib ini sesat dan mengundang Jin……, bagi saya ini adalah contoh orang punya pengetahuan kurang lengkap akan tetapi sudah berani menjatuhkan hukuman…..

Harusnya mereka mengkaji lebih dalam lagi sebelum menjatuhkan hukuman, menurut saya, yang salah itu bukan Hizib-Hizibnya atau amalan-amalannya yang salah itu adalah manusia yang mengamalkannya.

Ada beberapa sebab yang menyebabkan seseorang yang mengamalkan sesuatu amalan atau Hizib malah dirinya di datangi Jin dan ber-acting seolah menjadi khodam dari amalan/ hizib tesebut.

1. Menerima Pengizahan dan Pengisian dari seseorang dimana disadari atau tidak disadari “source of energy” nya adalah dari khodam-khodam Jin yang ikut seseorang tsb.

Badan kita ibarat rumah kita, kita yang bertanggung jawab terhadap kebersihan dan keamanan rumah kita…., nah bagaimana mau bersih dan aman , kalau kitanya sendiri selalu mengundang dan mengijinkan mereka masuk dengan senang hati para tamu-tamu yang tidak jelas kebersihannya dan tidak perduli dengan akibat yang akan di timbulkan di masa yang akan datang.

2.Niat dan Itiqad bukan beribadah ikhlas karena Allah dalam arti sesungguhnya akan tetapi mengamalkan amalan/hizib karena khasiat ini dan itu dari hizib/amalan tsb. Yang ini sudah di bahas

3.Khodam-Khodam Jin yang pernah menjadi pendamping Leluhur kita

Kebanyakan para leluhur di nusantara ini menguasai beberapa keilmuan lama, bisa saja ilmu yang bersih bisa juga ilmu yang agak-agak gelap, para leluhur ini dengan niat yang baik karena sayangnya kepada keluarga mereka pernah atau sering istilahnya ber-doa atau mengucapkan mantra untuk melindungi keluarga dan anak-cucunya, kalau di jaman dahulu do’a ini ada diartikan sabda oleh para pendamping-pendamping ghaib leluhur kita waktu itu, karena sudah terikat dengan sumpah maka mereka akan mematuhi “sabda” dari tuan-nya walupun tuannya sudah meninggal, karena umur mereka adalah panjang-panjang maka mereka secara otomatis akan menjaga dari generasi ke generasi, masalahnya adalah cucu-cucu di zaman sekarang ini TIDAK mempunyai “ilmu-nya” untuk mengontrol para pendamping leluhur kita ini, ya akibatnya bisa macam-macam bagi cucu-cicit ini tapi biasanya sih jadi berakibat kurang bagus.

WA ALLHU 'ALAM BIS SHAWAB

Jumat, 02 Desember 2011

Filsafat dan Hikmah Shalat

Ayat 45 surat Al-‘Ankabut membahas filsafat agung shalat. Ayat itu berbunyi, “Sesungguhnya shalat itu mencegah [manusia] dari perbuatan yang keji dan mungkar.”

Pada dasarnya, hakikat shalat adalah mengajak manusia untuk mengetahui faktor pencegah paling kuat (dalam diri manusia) yaitu keyakinan terhadap wujud Allah (sumber permulaan) dan Hari kebangkitan (ma’âd) yang berpengaruh kuat dalam mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar.

Seseorang yang berdiri untuk melakukan shalat dan mengucapkan takbir, mengakui bahwa Allah swt; Dzat yang Lebih Baik dan Lebih Tinggi dari segala yang ada dan akan mengingat semua kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya. Dengan mengucapkan pujian dan syukur, ia memohon curahan kasih dan sayang-Nya, mengingat hari pembalasan, mengakui ketundukan, melakukan penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya, meminta petunjuk dari-Nya untuk mendapatkan jalan yang lurus dan memohon perlindungan sehingga tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dimurkai oleh-Nya serta tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. (Kandungan dari surat Al-Fatihah).

Tanpa syak lagi, manusia yang mempunyai kalbu demikian akan memahami bahwa setiap langkah perjalanannya akan mengarah kepada sesuatu yang hak dan benar, gerakannya akan menuju kepada kesucian dan kesempurnaan, dan lompatannya akan melesat ke arah ketakwaan.

Manusia semacam ini, ketika melakukan shalat dengan membungkukkan badannya untuk ruku’, laksana seorang hamba dan meletakkan dahi di atas permukaan tanah di haribaan suci-Nya untuk mengakui kebesaran dan kemuliaan-Nya dan tenggelam dalam keagungan-Nya, serta menghapus segala ego dan kesombongan yang ada pada dirinya.

Lalu ia pun akan mengucapkan syahadat untuk memberikan kesaksian atas keesaan-Nya dan risalah Rasul-Nya.

Setelah itu, ia mengirimkan shalawat kepada utusan-Nya yang mulia, Rasulallah saw dan menengadahkan kedua tangannya di bawah mihrab suci-Nya untuk memohon belas kasih supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang salih.

Semua faktor ini akan memunculkan semangat spiritual dalam dirinya; sebuah gelombang besar yang mampu melebur dan meluluhlantakkan setiap dosa yang menumpuk di hadapannya.

Amal semacam ini terulang beberapa kali dalam sehari semalam. Bahkan, ketika ia terbangun dari tidurnya di pagi hari yang masih gulita pun, ia telah tenggelam dalam kenikmatan mengingat-Nya.

Di pertengahan hari, ketika ia telah disibukkan oleh kehidupan materi, tiba-tiba suara takbir muadzin akan menghentakkan dan menyadarkannya untuk menghentikan sejenak apa yang sedang dikerjakannya, kemudian bergegas mempersiapkan diri menghadap ke pelukan Sang Kekasih. Bahkan pada akhir hari dan permulaan malam sebelum menuju ke tempat istirahatnya pun, ia masih menyempatkan diri untuk mencurahkan seluruh isi hatinya, mengadu, menangis, meratap, berkeluh kesah kepada Sang Pemilik Hati dan menciptakan hatinya sebagai pusat cahaya-Nya.

Setelah itu dan untuk selanjutnya, pada saat menyambut kedatangan shalat, terlebih dahulu ia akan memulainya dengan mencuci dan menyucikan diri, menjauhi segala hal yang haram dan menghindarkan diri dari kemarahan, kemudian bergegas mendatangi tempat Sang Kekasih yang penuh dengan persahabatan. Demikianlah, seluruh faktor ini mempunyai efek dalam mencegah diri ketika berhadapan dengan hal-hal yang keji dan mungkar.

Hanya saja, efek shalat itu sesuai dengan terpenuhinya syarat-syarat kesempurnaan dan ruh ibadah dalam mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar, yang terkadang hal ini dapat membentuk sebuah sistem kontrol pada segala kondisi, terkadang pula pada kondisi-kondisi tertentu dan terbatas.

Adalah mustahil terjadi jika seseorang yang telah melakukan shalat tidak mendapatkan sedikitpun efek dari apa yang telah ia lakukan, betapapun shalat yang dilakukannya hanya bersifat formalitas saja dan betapapun orang yang melakukan shalat adalah orang yang bergelimang dengan dosa. Tentu saja pengaruh dari shalat yang dilakukan oleh orang-orang semacam ini tidak akan pernah mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, bila mereka meninggalkan shalat, sudah pasti akan semakin hanyut dan bergelimang dalam perbuatan-perbuatan dosa.

Lebih jelas kami tekankan bahwa pencegahan shalat dari perbuatan keji dan mungkar memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda. Dan setiap shalat apabila diukur dengan perhatian terhadap syarat-syarat yang dimilikinya, akan mampu menduduki sebagian dari derajat-derajat tersebut.

Di dalam salah satu hadis, dinukil bahwa pada masa Rasulullah saw, terdapat seorang pria muda dari kaum Anshar yang senantiasa mengikuti shalat yang dilakukan oleh Rasul saw. Tetapi, pada sisi lain ia masih senantiasa bergelimang dalam berbagai maksiat. Lalu, hal ini disampaikan kepada Rasul saw. Setelah mendengar laporan ini beliau bersabda, “Suatu hari nanti shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan-perbuatannya tersebut.”

Sedemikian pentingnya pengaruh shalat, hingga pada sebagian riwayat Islam disebutkan bahwa bias yang akan muncul dari pelaksanaan shalat akan menjadi tolok ukur apakah shalat yang dilakukan oleh seseorang telah diterima di sisi-Nya ataukah belum. Imam Ash-Shadiq as dalam salah satu hadis berkata, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah shalat yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya”.

kelanjutan ayat di atas menegaskan,”Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].”

Dzahir ungkapan ini menjelaskan sisi lain dari filsafat shalat. Bahkan, ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih penting dari mencegah perbuatan keji dan mungkar itu sendiri. Efek tersebut adalah, bahwa dengan melakukan shalat, manusia dituntun untuk senantiasa mengingat Allah swt. Hal ini merupakan akar dari segala kebaikan dan kebahagiaan. Bahkan, dapat diakui bahwa unsur utama dari pencegah perbuatan keji dan mungkar adalah mengingat Allah (dzikrullah). Keutamaan mengingat Allah dikarenakan dzikir merupakan sebab dari pencegahan tersebut.

Pada prinsipnya, mengingat Allah swt merupakan inti detak kehidupan kalbu manusia dan puncak ketenangan hati. Tidak ada sesuatu pun selainnya yang bisa mencapai tingkatan semacam ini.

Di dalam surat Ar-Ra‘d [13], ayat 28 ditegaskan, “Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.”

Pada dasarnya, ruh seluruh ibadah —baik ibadah shalat maupun selain shalat— adalah mengingat Allah swt. Berbagai bacaan, gerakan, mukaddimah, ta’qîb, doa, dan selainnya yang dilakukan dalam shalat, sebenarnya adalah untuk menghidupkan ruh zikir kepada Allah swt di dalam hati manusia.

Perlu diperhatikan bahwa di dalam ayat 14 surat Thaha telah diisyaratkan prinsip filsafat shalat. Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as, “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”

Dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik dari amal manusia yang bisa menyelamatkan mereka dari azab Ilahi selain mengingat-Nya.” Lalu, Mu'adz bertanya kepada beliau, “Meskipun jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Iya! Karena Allah swt berfirman, ‘Sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].’”

Efek Shalat dalam Mendidik Individu dan Masyarakat

Meskipun filsafat shalat bukanlah rahasi bagi seseorang, akan tetapi pemberian atensi yang besar terhadap teks ayat dan riwayat Islam akan menuntun kita pada berbagai pekerjaan yang lebih mengakar dalam masalah ini.

a. Hakikat, prinsip, tujuan, pondasi, mukaddimah, hasil, dan -pada akhirnya- filsafat shalat adalah mengingat Allah swt yang pada ayat di atas ditegaskan, bahwa zikir memberikan hasil yang paling tinggi dibandingkan ibadah-ibadah yang lain.

Tentu saja yang dimaksud dengan zikir di sini adalah zikir sebagai mukaddimah berpikir, dan berpikir yang dilandasi oleh keinginan untuk mengaktualkannya. Imam Ash-Shadiq sa. dalam salah satu hadis ketika menafsirkan ayat waladzikrullâh Akbar berkata, “(Zikir adalah mengingat Allah ketika hendak melakukan pekerjaan halal dan haram.” (Yaitu, mengingat Allah awt. ketika melakukan perbuatan yang halal dan menutup mata dari perbuatan yang haram).

b. Shalat merupakan media menyucikan diri dari dosa-dosa dan memohon pengampunan Ilahi, karena —mau tidak mau— shalat yang dilakukan oleh manusia akan mengajaknya untuk mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan bertaubat atas apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Oleh karena itu, dalam salah satu hadis kita membaca, Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabat, “Apabila di hadapan pintu rumah Kamu terdapat sebuah sungai yang mengalir dengan bening dan bersih, kamu mandi dan mencuci badannya lima kali dalam sehari semalam di dalam sungai itu, Apakah masih tersisa daki dan kotoran di badan Kamu?” Mereka menjawab, “Tidak ada, ya Rasulallah!” Lalu beliau melanjutkan,“Shalat sebagaimana halnya air mengalir itu. Setiap saat seseorang melakukan shalat, maka dosa-dosa yang dilakukannya di antara dua shalatnya akan terhapus dan menjadi bersih karenanya.”

Dan dengan shalat ini, luka, barutan, dan goresan dosa yang ada di dalam ruh dan jiwa manusia akan sembuh karena kemanjuran obat yang berbentuk shalat ini, dan karat-karat yang terdapat di dalam kalbunya pun akan menjadi bersih kembali dengan melakukan shalat.

c. Shalat merupakan tanggul penghalang dalam menghadapi serangan dosa-dosa yang akan datang, karena sesungguhnya shalat akan menguatkan iman di dalam kalbu manusia dan menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam hatinya. Kita mengetahui bahwa “iman” dan “takwa” merupakan tanggul yang paling kuat untuk menahan goncangan dosa, dan ini merupakan maksud dalam ayat di atas bahwa shalat adalah pencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan merupakan maksud dari banyak hadis yang mengatakan bahwa terdapat sekelompok orang yang senantiasa melakukan dosa, lalu kondisi mereka itu diceritakan kepada para imam sa. Mereka berkata, “Janganlah bersedih, karena shalat akan memperbaiki mereka”, dan ternyata memang demikian.

d. Shalat Menghancurkan Kelalaian

Musibah paling besar yang dialami oleh para pencari jalan kebenaran adalah lalai terhadap tujuan penciptaan dan tenggelam dalam kehidupan materi serta kelezatan-kelazatan duniawi yang hanya sekejap. Tetapi, dengan adanya variasi hukum dalam setiap jaraknya dan pelaksanaannya secara kontinyu yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam, shalat akan senantiasa membunyikan lonceng peringatan kepada manusia dan akan membangun ingatannya untuk senantiasa sadar terhadap tujuan penciptaan.

Dengan shalat, kehadiran-Nya di alam ini akan senantiasa diperdengarkan, dan merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar bahwa manusia mempunyai sarana dan fasilitas yang berada dalam ikhtiyarnya, sehingga dengan alat yang dimilikinya ini ia selalu terjaga secara kuat beberapa kali dalam sehari semalan.

e. Shalat Menghilangkan Kesombongan dan 'Ujub

Dengan shalat, kesombongan dan rasa kagum terhadap diri sendiri akan bisa terberangus dari diri manusia. Karena selama sehari semalam manusia melakukan tujuh belas rekaat shalat, di mana dalam setiap rekaatnya, ia meletakkan dahinya di atas tanah sebanyak dua kali dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Ia menganggap dirinya hanyalah butiran yang begitu kecil yang tak berharga dibandingkan dengan keagungan-Nya, bahkan menganggap dirinya bukanlah apa-apa ketika berada di hadapan Dzat Yang Tak Terbatas.

Shalat akan menyibakkan tirai-tirai kesombongan dan egoisme manusia, serta memporak-porandakan kesombongan dan rasa puas pada diri sendiri.

Dengan dalil inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw. dalam sebuah hadis terkenal yang merefleksikan filsafat ritual Islam setelah iman, dalam rangka menjelaskan ibadah shalat berkata, “Allah mewajibkan iman untuk membersihkan manusia dari syirik dan mewajibkan shalat untuk membersihkan diri dari kesombongan.”

f. Shalat Sebagai Penyempurnaan Akhlak

Shalat merupakan mediator kesempurnaan akhlak dan spiritualitas manusia, karena shalat akan mengeluarkannya dari dunia materi yang terbatas dan dari ruang lingkup empat sisi dinding alam natural, lalu mengajaknya melesat terbang ke langit malakut dan menyatukannya dengan barisan para malaikat. Setelah itu, ia akan melihat dirinya berada di hadapan -Nya tanpa membutuhkan sedikitpun mediator, dan ia pun akan melihat betapa dirinya telah mampu melakukan perjumpaan dengan Nya.

Pengulangan amal ini dalam sehari semalam yang dilakukan dengan menyandar pada sifat-sifat Allah yang Pengasih, Penyayang dan keagungan yang dimiliki-Nya, khususnya dengan bertawassul kepada surat-surat yang bervariasi dalam Al-Qur’an setelah selesai membaca Al-Fatihah, merupakan penggerak ke arah kebaikan dan kesucian yang paling utama. Dan hal ini mempunyai pengaruh yang tidak sia-sia dalam pembinaan keutamaan akhlak di dalam wujud manusia.

Oleh karena itu, dalam salah satu hadis mengenai filsafat shalat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw. berkata, “Shalat merupakan perantara untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada Allah bagi setiap orang yang bertakwa.”

g. Shalat Mengisi Nilai pada Seluruh Amal

Shalat memberikan nilai dan ruh pada keseluruhan amal yang dilakukan oleh manusia. Karena shalat akan menghidupkan hakikat keikhlasan, dimana shalat merupakan kumpulan dari niat yang murni dan perkataan yang suci, serta amal-amal yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Pengulangan amal-amal tersebut secara keseluruhan dalam sehari semalam akan menyebarkan bibit-bibit amal yang terpuji di dalam jiwa manusia dan akan menguatkan keikhlasan yang ada di dalam wujudnya.

Oleh karena itu, dalam salah satu hadis terkenalnya, Amirul Mukminin Ali bi Abi Thalib kw. ketika berwasiat setelah terluka oleh hujaman pedang Ibnu Muljam (la’natullah ‘alaih) berkata, “Jagalah shalat! Karena sesungguhnya shalat merupakan tiang dari agamamu.”

Kita mengetahui bahwa apabila tiang yang dipergunakan untuk mendirikan kemah patah atau roboh, maka betapapun kuatnya tali dan paku-paku yang tertancap di sekitarnya tidak akan membawa pengaruh sedikitpun untuk tegaknya kembali kemah tersebut. Demikian juga halnya ketika tidak ada lagi komunikasi antara hamba dengan Tuhannya yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, maka amal yang lainnya pun akan menjadi kehilangan pengaruh.

Dalam sebuah hadis, Ash-Shadiq sa berkata, “Masalah pertama yang akan dihisab oleh Allah dari hambaNya pada Hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya terkabul, akan terkabul pula seluruh amalnya yang lain dan apabila shalat ini tidak diterima, maka akan gagal pulalah seluruh amal-amal yang lain.”

Mungkin dalil ucapan beliau ini adalah, bahwa shalat merupakan rumus dan rahasia komunikasi antara makhluk dengan Khaliqnya. Apabila hal ini dilakukan dengan cara yang benar, maka niat taqarrub dan keikhlasan yang merupakan syarat terkabulnya keseluruhan amal akan bisa hidup dalam dirinya, dan apabila tidak, maka amal-amal yang lainnya akan menjadi kotor dan terpolusi sehingga akan menyebabkannya keluar dari derajat yang disyaratkan.

h. Shalat Membawa Kesucian Hidup

Meskipun tanpa memperhatikan kandungan yang ada di dalam shalat, yaitu dengan memperhatikan validitasnya, pada hakikatnya ia mengajak manusia untuk hidup dalam kesucian. Hal ini dapat kita ketahui dari syarat tempat yang dipergunakan untuk melakukannya, pakaian yang dikenakan, alas dan air yang dituangkan untuk berwudhu serta mandi. Dan juga tempat yang dipergunakan oleh seseorang untuk mandi dan berwudhu harus merupakan tempat yang betul-betul tidak terkotori oleh ghasab dan tidak diperoleh dengan cara zalim dan melanggar hak-hak orang lain. Seseorang yang terkotori dengan kezaliman, ternodai oleh sifat-sifat kelewatan, riba, ghasab, mengurangi timbangan dalam transaksi, korupsi dan usaha-usaha yang dilakukan dengan menggunakan kekayaan yang haram, bagaimana ia bisa menyiapkan mukadimah shalat? Oleh karena itu, pengulangan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam merupakan sebuah ajakan untuk menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain.

i. Shalat Sebagai Pelindungan Diri dari Maksiat

Shalat selain harus mempunyai syarat keabsahan dan syarat keterkabulan, atau dengan kata lain, harus mempunyai syarat-syarat yang sempurna dalam dua hal tersebut, juga merupakan sebuah elemen yang efektif untuk meninggalkan begitu banyak perbuatan dosa.

Dalam kitab-kitab fiqih dan sumber hadis disebutkan begitu banyak faktor lain yang bisa menjadi referensi dari terkabulnya seatu shalat. Di antaranya, tentang meminum khamar (minuman keras) yang dalam sebuah riwayat ditegaskan, “Selama empat puluh hari, tidak akan diterima shalat seseorang yang meminum minuman keras, kecuali apabila ia bertaubat.”

Dalam banyak riwayat kita membaca, “Salah satu dari golongan yang shalatnya tidak akan dikabulkan oleh Allah adalah shalat yang dilakukan oleh kaum zalim dan penganiaya.”

Dalam sebagian riwayat lain telah ditegaskan bahwa shalat yang dilakukan oleh seseorang yang tidak membayar zakat tidak akan pernah terkabul. Demikian juga riwayat yang lain mengatakan bahwa memakan makanan haram, mengagumi diri sendiri, sombong, dan takabur merupakan salah satu penghalang bagi terkabulnya shalat. Dari sini bisa dipahami, sejauh manakah pengaruh konstruktif yang akan didapatkan seseorang dengan terpenuhinya syarat-syarat keterkabulan tersebut.

j. Shalat Penguat Semangat Disiplin

Shalat akan menguatkan semangat disiplin dalam diri manusia, karena bagaimanapun juga, shalat harus benar-benar dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan mengakhirkan atau mempercepat dari waktu yang seharusnya akan menyebabkan batalnya shalat yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan aturan dan hukum-hukum lain dalam masalah niat, berdiri, ruku’, dan sujud. Memperhatikan semua ini akan menumbuhkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari menjadi betul-betul mudah dan lancar.

Semua poin di atas merupakan manfaat yang terdapat di dalam shalat dengan tanpa memperhatikan masalah shalat berjamaah. Namun bila keistimewaan shalat berjamaah ini kita tambahkan dalam diskursus di atas, di mana sebenarnya ruh dan hakikat shalat terletak pada shalat berjamaah, kita akan menemukan berkah yang tak terhitung banyaknya. Tetapi, pembahasan tentang shalat berjamaah bukan tempatnya untuk kami diskusikan di sini. Selain itu, sedikit banyak kita pun telah mengetahuinya.

Kami menutup pembahasan tentang filsafat dan rahasia shalat dengan sebuah hadis yang telah dinukil dari Ar-Ridha sa. Dalam menjawab surat yang menanyakan filsafat shalat, beliau berkata, “Tujuan disyariatkannya shalat adalah atensi dan pengakuan terhadap ketuhanan Allah swt, melawan syirik dan penyembahan berhala, berdiri di hadapan haribaan-Nya dalam puncak kekhusyukan dan kerendahan diri, mengakui dosa-dosa serta memohon pengampunan-Nya terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya, dan meletakkan dahi di seluruh hari untuk berkhidmat kepada-Nya.

Demikan juga, tujuan disyariatkannya shalat adalah supaya manusia senantiasa terjaga dan berpikir sehingga tidak ada lagi debu-debu kelalaian yang akan singgah di dalam hatinya, supaya manusia tidak sombong dan mabuk dengan dirinya, supaya manusia menjadi orang-orang yang khusyu’ dan tawadhu’, serta mencari dan mencintai bertambahnya pemberian segala sesuatu dalam agama dan dunianya.Selain konsistensi zikir kepada Allah sepanjang hari dan malam yang dihasilkan dari sinar shalat, shalat akan membuat manusia tidak melupakan Pengatur dan Penciptanya, hingga jiwa liar dan tak terkendali tidak akan mampu mengalahkannya.

Dengan perhatiannya terhadap Allah swt dan berdiri di haribaan suci-Nya, ia akan mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan dosa dan akan menghindarkannya dari segala kerusakan.”